Friday, January 10, 2014

Cerita Romantis dan Sedih "RASA UNTUK TANIA"


Bagian 7

Cerita KiTa - “Kak… kalau buat saya, Kak Adi adalah cowok yang paling spesial,” ucapnya dengan nafas yang memburu.

Ia kembali melumat bibirku, ciumannya sangat ganas, sangat terlihat kalau ia sudah berpengalaman. Lidahnya masuk ke dalam mulutku dan mencoba bersentuhan dengan lidahku.

Sisi liar Ghea muncul keluar, ia bahkan sesekali menggigit bibirku. Aku jadi kewalahan, dibandingkan dengannya, aku masih sangat cupu.

Tapi aku tidak mau kalah. Langsung kubalikkan tubuhnya sehingga ia ada di bawahku. Kusibak rambut panjangnya yang indah, lalu kuciumi lehernya. Ia mendesah menahan geli.
“Aw! Geli!” ia menjerit pelan.

Tanganku terus meremas-remas buah dadanya, sesekali memilin putingnya yang sudah mulai menegang. Sejujurnya, aku tak menyangka hal seperti ini akan terjadi sewaktu mengajaknya masuk ke dalam kamar. Tapi aku sungguh tak bisa menolak Ghea.

Ciumanku turun dari leher ke belahan dadanya, lalu ke puting kanannya. Kujilat-jilat putingnya, ia pun mendesah semakin keras.
“Aaah… Mmmmh….” suaranya sangat merdu, rasanya aku tidak ingin berhenti mendengarnya.
Aku bergantian menghisap kedua putingnya, dan ia terus-menerus mengelus-elus rambutku.
“Mmmh…Lebih besar mana sama punya Tania?” ia bergumam sambil mendesah, melemparkan satu pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Aku tak ingin membicarakan Tania, sebab yang ada di hadapanku sekarang adalah Ghea. Jawabannya sudah jelas, buah dada Ghea lebih besar dan lebih nikmat.
Srurrrpt!
“Awwwh!”
“Enak?” tanyaku.
“Banget!”
Ciumanku turun dari payudaranya ke parah perutnya yang ramping. Kumainkan lidahku di sekeliling pusarnya, Ghea menggelinjang kegelian. Sementara itu tanganku melepaskan celana jeans-nya secara perlahan-lahan. Ghea tampak tidak keberatan, ia bahkan membantu membukakan celananya.
Setelah celana jeans-nya terbuka, aku dapat melihat celana dalam putih yang ia kenakan. Aku mengelus-elus kedua pahanya yang mulus, lalu menciumi lututnya. Ghea tampak kegelian dan menggerak-gerakkan kakinya.
“Jangan gerak-gerak, nanti kepalaku kena tendang!” protesku.
“Sorii! Abisnya geli!”
Ciumanku menjalar dari lutut, ke pahanya, lalu ke selangkangannya. Cuma ini cara yang kutahu untuk memuaskan wanita, cuma sampai hal ini saja batas pengalamanku. Aku memerosotkan celana dalam Ghea, dan terlihatlah vaginanya yang sudah dicukur bersih dan mulus. Kepala Ghea menengadah, memandangi langit-langit kamar kostku. Dengan gerakan yang lihai, aku langsung menjilati vagina Ghea. Ia pun semakin berkelojotan, terpaksa aku memegangi kedua kakinya.
“Aaaaah… uuuh… Kak Adi.. baru pertama kalinya aku diginiin… Uuuh… Nggak tahan….”
Jilatanku semakin liar. Kumasukkan lidahku ke sela-sela lubang vaginanya, lalu kugerak-gerakkan. Tak lupa semua teknik oral yang pernah kulihat di film porno kupraktekkan pada vaginanya. Ia semakin merasa nikmat, desahannya berubah jadi jeritan-jeritan tertahan, lalu erangan yang sangat merdu.
“Gilaaaa…. Arrrghhhh….!” Ghea mengerang panjang, namun aku menghentikan permainanku. Tiba-tiba saja aku merasa seperti mengalami de javu. Beberapa detik tadi aku sempat lupa kalau vagina yang ada di hadapanku adalah milik Ghea, bukan Tania.
“Hah.. hah… Kenapa berenti…?” keluh Ghea manja.
“Ngg.. Nggak apa-apa…” jawabku.
“Udah nggak tahan… masukin aja Kak.”
Aku termenung mendengar permintaannya, “Masukin?”
Ghea menatapku, matanya seperti heran kenapa aku bertanya.
“Iya, masukin punya Kak Adi…Kont0l Kak Adi… uuhh.”
Aku ingat aku belum pernah melakukan ini, sebab Tania selalu melarangku menembus keperawanannya. Mungkin Ghea memang sudah tidak perawan, tapi entah kenapa aku jadi merasa agak canggung.
Melihatku yang tak juga menuruti permintaannya, Ghea bangkit dari posisi tidurnya, lalu bergegas membuka celanaku. Dengan gerakan yang seperti sudah terlatih, ia segera mengeluarkan penisku yang sudah berdiri tegang. Lalu ia menggenggamnya menggunakan tangan kanannya.
“Aku bikin lebih tegang lagi ya Kak, tapi jangan keluar dulu.”
Ghea mengocok-ngocok penisku dengan tangannya, lalu tanpa ragu ia langsung memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Ia menghisapnya dengan lembut, batang penisku terasa disedot sampai ke bagian terdalamnya.
“Oooohh…” aku mendesah tak tertahankan, Ghea masih terus menghisap penisku, sesekali kepalanya maju mundur.
Kemudian ia menghentikan gerakan kepalanya dan malah mendorong pinggulku ke arah mulutnya.
“Kak…. entotin mulut Ghea…” ucapnya dengan suara yg sulit terdengar karena penisku masih ada di mulutnya.
Aku terkesima dengan permintaannya yang berani itu, tapi aku tak mungkin menolak. Dengan kedua tangan, aku memegangi kepalanya dan rambutnya yang hitam panjang. Kudorong penisku ke arah mulutnya, lalu kutarik sedikit. Kudorong lagi, tarik lagi. Semakin lama penisku terdorong masuk semakin dalam ke mulutnya, hampir ke tenggorokannya. Rasanya sungguh luar biasa, tulang belakangku seperti mau lumer saja.
Dengan nafsu yang membumbung tinggi, aku menggenjot mulut Ghea, semakin lama semakin cepat. Sesekali Ghea seperti hampir terbatuk-batuk, tapi ia menolak untuk melepaskan penisku. Sampai pada saat sodokan penisku di mulutnya menjadi sangat kuat, Ghea menarik mulutnya, ia batuk berat dan hampir muntah, air liur menetes dari mulutnya yang sejak tadi tak bisa bergerak.
“Ghe, kamu nggak apa-apa? Maaf ya, maaf!” ucapku khawatir melihatnya.
“Hoek! Uhuk uhuk! MMmmmng…. Nggak apa-apa… Hemmm….Nggak apa-apa kok,” jawabnya sambil berusaha tersenyum.
Setelah nafasnya kembali tenang, ia telentang di atas kasur, lalu menuntun penisku ke dekat vaginanya. Sambil menggenggam penisku, ia menggesek-gesekkannya ke bibir vaginanya yang sudah basah. Ia ingin aku memasukkannya.
“Kamu yakin, Ghe?” tanyaku.
Mendengar pertanyaanku, Ghea tertawa cekikikan. “Biasa aja kali, Kak. Nggak usah gugup gitu.”
“Oh kamu udah sering ya?” tanyaku.
“Nggak sering, pernah sekali. Tapi buat Kak Adi, berapa kali pun boleh.”
Aku mendorong penisku ke bibir vaginanya. Rasanya sangat sempit, aku sampai tidak tahu harus mendorongnya seperti apa.
“Nih saya bantuin Kak, pelan-pelan ya,” ucap Ghea.
Dengan bantuan dari tangan Ghea dan gerakan pinggulnya, akhirnya penisku bisa masuk juga ke dalam vaginanya. Rasanya sungguh luar biasa. Rasa hangat, lembut, dan jepitan dinding-dindingnya di batangku membuat pikiranku melayang entah kemana. Aku memeluk tubuh Ghea dan mencium bibirnya, lalu Ghea berbisik.
“Kak Adi nggak usah nungguin Tania lagi ya? Kalau sama saya, semuanya saya kasih…”
Aku mulai menggerakkan pinggulku perlahan-lahan. Penisku keluar masuk di vagina Ghea, bergesekan tanpa henti, merasakan cengkraman vaginanya yang sangat kuat.
“Ahhh…”
“Ooohh… gimana kak rasanya kehilangan keperjakaan?” ledek Ghea sambil berusaha tertawa.
“Rasanya… rasanya kaya begini…” aku mempercepat genjotanku, membuat sodokan-sodokanku semakin kuat.
“Ahhh! Ahh! Ohh! Nikmat!” Ghea menjerit-jerit setiap kali penisku menusuk bagian dalam vaginanya.
“Iya, nikmat. Ohh ohh!”

Lama-kelamaan genjotan pinggulku semakin stabil, Ghea juga sepertinya semakin bisa mengendalikan nafas. Aku meremas-remas payudaranya, lalu mengecup bibirnya. Sambil terus menggenjot, aku mengambil kacamata Ghea yang tadi ia lepas di dekat kasur. Lalu aku memakaikan kacamata itu pada Ghea, ia tersenyum melihat tingkahku.
“Kayanya kamu lebih seksi kalau pakai kacamata,” ucapku menggodanya.

Permainan kami semakin lama semakin intens. Sesekali aku memutar-mutar penisku di dalam vagina Ghea, membuat dia menggelinjang. Sesekali juga aku mencampur antara genjotan cepat dan gesekan lembut.

Setengah jam berlalu, permainan kami mulai mendekati klimaksnya. Aku dapat merasakan penisku seperti akan meledak, sementara Ghea sudah terengah-engah dan tak bisa berkata apa-apa lagi selain desahan dari mulutnya.
“Ah… ah… ah… Kak… Ah… Ah.. oh… sebentar lagi… “
“Ugghh… Ghe… Ohhh… sama… juga… ahhh”

Dalam keadaan seperti itu suasana kamar di sekelilingku seperti lenyap. Itulah kenapa aku tak sadar ketika ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Aku tak menggubrisnya, aku terus menggenjot Ghea tanpa henti. Hingga aku sadar kalau pintu kamarku tadi lupa dikunci, dan terbukalah pintu kamar itu, lalu Tania melangkahkan kakinya masuk.

Tania melihatku. Tania melihat kami. Ekspresi wajahnya sangat pucat ketika ia membuka pintu kamarku lalu memergoki aku dan Ghea yang sedang bercinta dengan penuh gelora. Mata Tania melotot, seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat.

Anehnya, aku tak bisa menghentikan gerakanku. Ghea juga sepertinya sudah tak sanggup lagi memikirkan keadaan di sekelilingnya. Sambil disaksikan oleh Tania yang mematung karena shock di depan pintu, aku mempercepat genjotanku di vagina Ghea, hingga akhirnya aku dan Ghea mencapai orgasme secara bersamaan.
“Aaaaaarghhh!!! Aaaaah!” aku dan Ghea menjerit hampir bersamaan, seolah seperti paduan suara yang sedang menyanyikan nada tinggi.
Spermaku muncrat di dalam vagina Ghea, sementara Ghea mengeluarkan jeritan panjang dan punggungnya melengkung seperti busur. Tubuh kami lumer menjadi satu, keringat kami bercampur dalam jeritan.

Tania masih di depan pintu, seperti patung yang beku. Kecuali air matanya yang perlahan-lahan menetes keluar, memperhatikan aku dan Ghea yang masih terengah-engah menikmati sisa orgasme kami. Air mata Tania semakin banyak keluar, dan ketika hampir membanjiri pipinya, ia pun membalikkan badan dan lari sekencang-kencangnya dari kamar kost-ku.

Aku bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Tania menangis? Kenapa? Entah mengapa, aku juga jadi ingin menangis. Tapi Ghea segera memeluk kepalaku dan mendekapnya. Kami tertidur di atas kasur, di dalam kamar, dengan pintu yang terbuka.




0 comments:

Post a Comment