Friday, January 10, 2014

Cerita Romantis dan Sedih "RASA UNTUK TANIA"


Bagian 6

Cerita KiTa - Dengan berat hati, aku meninggalkan Santi yang masih termenung di depan kelas. Sedih juga, gini jadinya kalau ranger kuning kehilangan ranger pink. Aku pun merasa kesal dengan Tania, ia tidak hanya meninggalkan aku, tapi juga teman-temannya yang lain. Lelaki spesial seperti apa sih yang sudah merebut hatinya?
Aku membalas SMS Ghea dan mengiyakan ajakannya untuk bertemu. Dia bilang dia menungguku di kios bakso Pak Kumis yang ada di seberang kampus, jadi mau tidak mau aku harus keluar dari kampus ini, kebetulan semua jadwal kuliah sudah selesai. Ketika melewati tempat parkir, aku melihat sebuah mobil sedan mewah baru saja masuk dan sedang mencari tempat parkir. Mobil siapa itu? Mungkinkah mobil dosen atau rektor? Atau mobil mahasiswa anak orang kaya? Tapi aku belum pernah melihatnya sebelumnya.

Ketika mobil itu selesai parkir, sesosok pria keluar dari kursi pengemudi. Pria itu memakai kemeja necis dan mengenakan kacamata, rambutnya pendek dan disisir ke samping. Dari pintu mobil yang satunya lagi, sesosok wanita keluar. Ia mengenakan kaos oblong, celana jeans, dan sepatu kets. Penampilan mereka berdua sangat kontras, tapi aku kenal siapa wanita itu. Dia adalah Tania.

Wajah Tania terlihat kaget ketika melihatku, mulutnya menganga dan matanya menatap mataku tanpa berkedip. Terus terang, aku juga tidak tahu harus mengatakan apa. Ada perasaan rindu yang amat sangat di dalam dada ini, tapi ada juga perasaan marah dan patah hati yang tidak bisa ditutupi. Kalau saja tak ada pria itu di sebelahnya, aku mungkin akan mencoba bicara. Tapi aku tidak mau. Membayangkan mereka berdiri bersampingan saja sudah membuatku bisa membayangkan seks macam apa yang sering mereka lakukan di dalam mobil mewah itu. Lebih dari soal seks, lelaki itu adalah lelaki spesialnya Tania, lebih spesial dari aku.
“Adi!” Tania akhirnya memanggilku ketika aku berjalan menjauh. Aku tidak menggubrisnya, aku tetap berjalan ke arah bakso Pak Kumis untuk menemui Ghea.
Beberapa langkah aku berjalan, aku merasa ada yang mengikutiku dari belakang, lalu menepuk pundakku. Ini bukan tangan Tania. Tangan siapa ini? Tangan lelaki brengsek itu!
“Hey bung! Tunggu sebentar!”
Bang, bung, bang, bung, dia pikir dia siapa? Aku memang orang yang terkenal tidak suka cari masalah, tapi kesabaranku sudah pada batasnya.
Aku menoleh dan menatapnya. Dia beberapa tahun lebih tua dariku, mungkin itulah kenapa ia terlihat sudah mapan. Tapi di wajahnya tak ada rasa bersalah, wajahnya terlalu datar. Lalu ia membetulkan posisi kacamatanya, membuat aku semakin muak.
“Kamu pasti temannya Tania yang namanya….”
BUAK!
Tinjuku melayang menghantam kepala lelaki itu sebelum ucapannya selesai. Kacamatanya lepas, ia terhuyung dan jatuh tersungkur. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku aku memukul orang karena marah, tak kusangka pukulanku kuat juga. Satpam dan tukang parkir memperhatikan kami dan bersiap untuk melerai.
“Kalo lo orang kaya, lain kali kondom beli sendiri!” ucapku membentaknya. Tania hanya mematung melihat perbuatanku, wajahnya pucat.
Aku bingung dengan diriku sendiri. Apa yang sudah aku lakukan? Memangnya aku siapanya Tania? Memangnya apa hakku marah pada pacarnya Tania? Memangnya dia salah apa? Memangnya Tania salah apa kalau dia berhubungan dgn pria lain? Aaaargh! Aku lalu lari sekencang-kencangnya, melewati gerbang kampus, menuju bakso Pak Kumis.
Di dalam kedai bakso, Ghea sedang asyik minum jus alpukat sambil memainkan iphone-nya. Aku tiba di sebelahnya sambil terengah-engah.
“Eh kak adi! Kenapa ngos-ngosan gitu? Santai aja kali, saya nggak buru-buru kok,” ujar Ghea sambil tersenyum. Tiba-tiba saja ia terlihat lebih cantik dari biasanya.
Sambil mengatur nafas, aku duduk di hadapannya dan sedikit berbasa-basi. Ia menanyakan apakah aku masih lapar, aku bilang tidak.
“Nah, soal yang mau saya tanyain itu soal ini,” Ghea mengeluarkan lembaran diktat kuliah, lalu menunjuk satu halaman.
“Oh itu…. Kalau yang itu sih…” aku terdiam.
“Kenapa?”
Kalau aku berlama-lama di sini, bisa-bisa Tania dan pacarnya menemukanku, siapa tahu tadi mereka mengejar dari belakang? Bukannya aku takut lelaki itu membalas pukulanku, tapi aku tidak sanggup bertemu Tania. Aku harus segera pergi dari sini.
“Wah… kalau soal yang itu catatanya ketinggalan di tempat kos. Padahal itu lengkap banget,” jawabku.
“Oh ya sudah, kalau gitu….”
“Gimana kalau kita diskusinya di tempat kos-ku aja?” ucapku memotong.
Ghea terdiam, ia sepertinya terkejut. Lalu samar-samar aku seperti dapat melihat pipinya memerah. Setelah itu dia tersenyum lebar.
“Boleh aja!” ucapnya.
————————————————-
Aku pergi bersama Ghea ke tempat kos-ku. Sebenarnya ini ide yg buruk, mengajak perempuan ke dalam kamar tanpa persiapan apa-apa. Aku bisa membayangkan seberapa berantakan kamarku, belum lagi cd film-film porno yg mungkin masih berserakan.
“Haha… Kamar cowok!” ia tertawa ketika aku membuka pintu.
Aku menyingkirkan beberapa buku yang berserakan di atas kasur dan menyuruh dia duduk. Tidak lama kemudian, tiba-tiba ia berteriak senang ketika melihat sebuah gitar tua yang kuletakkan di sebelah lemari pakaian. Tanpa meminta izin, dia pun mengambil gitar itu dan membawanya ke atas kasur.
“Ternyata suka main gitar ya?” tanyanya.
“Dulu sempat pingin belajar, tapi sekarang sih cuma jadi pajangan,” aku tersenyum, duduk di sebelahnya.
Seperti lupa tujuan awalnya datang ke sini, ia langsung memainkan gitar itu dengan jari-jarinya yang lentik. Lalu dia pun mulai bernyanyi.
“Knock knock knock, knocking on heaven’s door….”
Aku tiduran di sebelahnya, sementara ia duduk bernyanyi di sebelahku. Seketika saja, Ghea seperti berubah lagi menjadi gadis rocker yang kulihat di atas panggung waktu itu, rasanya dia seperti punya kepribadian ganda.

Sambil mendengar suara merdu Ghea, aku melamun, aku teringat pada semua hal yang kualami bersama Tania. Kalau saja, seandainya saat itu di bioskop aku tak tanpa sengaja menyenggol dada Tania, dan tidak datang ke kost-nya esok harinya, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Mungkin kami masih akan tetap bersahabat seperti biasa, tanpa ada embel-embel apapun. Mungkin aku masih akan menyimpan perasaanku dalam-dalam, tapi tak akan sesakit ini. Ya, pastinya aku jg tak akan pernah melakukan hal-hal intim itu bersama Tania, tapi artinya semua itu kalau akhirnya jadi begini?

“…that cold black cloud is comin’ down, feels like I’m knockin’ on heaven’s door…”
Melihatku melamun, Ghea tiba-tiba saja menepuk pahaku.
“Abis mukul orang, terus ngerasa bersalah ya?” ucapnya tiba-tiba.
Aku kaget bukan main, aku bangkit duduk dan menatapnya. Darimana dia bisa tahu hal itu? Jangan-jangan….
“Tadi saya lihat dari jauh, sebelum masuk ke kedai bakso. Masalah cinta segitiga nih kayanya? Hehehe…, sori kalau pengen tau!”

Aku kembali rebahan di atas kasur dan menghela nafas. Lalu Ghea kembali memainkan gitar dan berdendang ringan. Mungkin karena terhipnotis oleh suaranya yang merdu, aku akhirnya menceritakan semua itu. Aku menceritakan semua yang terjadi padaku dan Tania…, perasaanku yang sudah kupendam sejak lama, hubungan skandal rahasia kami, dan pacar baru Tania yang membuatku naik darah. Ghea mendengarkan dengan serius, ia sama sekali tak kaget waktu aku ceritakan skandalku dengan Tania, ia juga tidak terlihat merendahkan, ia malah terlihat simpatik.

Lalu Ghea ikut tiduran di sampingku, sambil masih memetik gitar.
“Kak Adi mungkin nggak tau, kalau sebenarnya Kak adi itu sering jadi bahan pembicaraan adik-adik kelas, sebagai cowok yang sopan, berkharisma, baik hati dan kalem. Tapi lucunya, aku nggak kaget waktu tau rahasia pribadi Kak Adi yang bertolak belakang….” ucapnya dengan suara yg pelan, “dan mudah-mudahan Kak Adi juga ga kaget kalau tau bahwa….”
“Bahwa apa?”
“Bahwa cewek kaya saya ini… yah, yang kata orang sih populer, cantik, keren, gaul, dan hehehe”
Aku menyikut pundaknya, ia balas menyikut pinggangku, lalu tertawa.
Ia melanjutkan ucapannya, “…iya, bahwa cewek kaya saya ini, ternyata diam-diam udah lama… naksir Kak Adi.”

Deg!

Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Baru kali ini ada perempuan yang terus terang mengatakan itu padaku. Bahkan Tania tak pernah satu kalipun mengatakan kalau ia menyukaiku. Aku menoleh ke arah Ghea yang tiduran di sebelahku. Ia sedang menutupi wajahnya yang memerah dengan tangan. Sangat cute, kemana perginya gadis rocker yang tadi asik bernyanyi? Aku tertawa dalam hati. Tiba-tiba saja aku juga tertarik mengeluarkan sisi diriku yang lain.
“Main gitar lagi dong!” ucapku sambil bangkit duduk. Ia juga ikut duduk.
“Huuu! Maunya konser gratis! Bayar tiket dong!” ia menjulurkan lidah, lalu membetulkan kacamata merah maroon-nya.
“Kan aku yang main drum.”
“Oke!”
Ghea memainkan gitarnya, tapi kemudian berhenti. Ia memicingkan matanya.
“Mana? Katanya Kak Adi mau main drum? Kok diem aja? Pukul-pukul kaleng biskuit kek, apa gitu,” ia protes.
“Aku lagi main drum kok!”
“Mana?”
“Nih…,” aku meraih tangan kirinya, lalu menuntun telapak tangannya itu ke arah dadaku.
“Kedengeran ngga? Blast beat nih drumnya!”
Ia tertawa terbahak-bahak, bahkan sampai memegangi perutnya. Matanya berkaca-kaca karena terlalu lama tertawa.
“HAHAHAHAHAHA! Gombal parahhh! Sakit perut nih!”
Aku senyum-senyum mendengarnya. Selesai tertawa, ia menarik tanganku ke arah dadanya, gantian katanya.
“Bukan cuma Kak Adi aja yang dari tadi main drum!”
Telapak tanganku menempel di dadanya, di atas kancing kemeja yang bagian atasnya ia biarkan terbuka. Sekarang aku jadi gugup.
“Ohiya, posisi jantung kan agak ke kiri dikit ya,” ujarnya. Ia menggeser tanganku ke sebelah kiri dadanya, tepat di atas payudara kirinya. Mata kami saling bertatapan. Di balik kacamata persegi itu aku dapat melihat kedua matanya yang terlihat agak sayu. Apalagi ketika tanganku bergeser agak ke bawah.
“Kerasa nggak?” tanyanya.
“Apanya?”
“Detak jantungnya lah. Emang ada yang lain?”
“Hmm… Ada…”

Pelan-pelan telapak tanganku bergeser semakin ke bawah. Aku bisa merasakan ada bukit yang menonjol di dadanya. Ghea terlihat menahan nafas, matanya semakin sayu.
Dengan lembut, jari-jemariku mulai memijit payudara Ghea dari luar kemejanya. Ternyata ukurannya lebih besar dari yang kukira. Hampir dua kali lebih besar dari milik Tania, tapi masih pas di telapak tanganku. Aku meremas-remas payudara kiri Ghea dengan satu tangan, sambil terus memperhatikan ekspresi wajahnya.

“Mhhh…” suara lenguhan pelan keluar dari bibir Ghea. Suara yang sangat merdu, suara lenguhan paling merangsang yg pernah kudengar. Spontan saja penisku berdiri di dalam celana.

“Satunya lagi….” bisiknya. Menuruti perintahnya, aku pun meraih payudaranya yang sebelah kanan. Sekarang kedua gunung kembar itu sudah kugenggam, lalu kupijat perlahan-lahan. Rasanya sungguh kenyal dan kencang. Luar biasa.
“Ghe, buka aja ya?”
“Mmmmh…. iyah….”

Aku penasaran dengan belahan dada yang sejak tadi mengintip dari kerah kemejanya. Lalu dengan perlahan-lahan aku membuka kancing kemeja Ghea, satu-persatu. Semakin banyak kancing yang kubuka, semakin jelas terlihat payudaranya yang bulat menggoda. Ia mengenakan bra putih yang sangat seksi. Aku kembali meremas kedua payudara Ghea. Lalu tanpa diminta, ia melepas kacamata yang ia kenakan, kemudian ia mencium bibirku dengan ganasnya. Aku didorongnya sampai telentang di kasur, kemudian ia naik ke atasku dan kembali menciumi bibirku.

“Kak… kalau buat saya, Kak Adi adalah cowok yang paling spesial,” ucapnya dengan nafas yang memburu….

memburu kenapa...???




0 comments:

Post a Comment