Friday, January 10, 2014

Cerita Romantis dan Sedih "RASA UNTUK TANIA"

Bagian 10 -  Ending

Cerita KiTa - Sejak kemarahan Ghea akibat kebodohanku yang tentu saja sangat menyinggungnya, Ghea sangat sulit untuk ditemui. Bahkan, akhirnya kudengar ia transfer studinya ke univ lain. Ah, Ghea..lupakanlah..maafkan aku…

Dan Tania? Sejak ia memergoki aku dan Ghea di dalam kamar, ia pun menghilang… Yang kudengar bahwa ia benar-benar telah melangsungkan tunangan dengan Josh, pria berkacamata yang pernah kupukul saat itu karna cemburu buta..

Tiga bulan berlalu…
Dan selama itu pula aku tidak bertemu dengan Tania. Rindu ini begitu mencabik-cabik pembuluh darah dalam nadiku dan mengakumulasi ke kelenjar otak. Galih dan Rian, teman-teman sekos-ku sampai heran dengan diriku yang tiba-tiba menjadi pemarah dan sensitif.

Aku tahu saat ini pasti Tania sedang ngebut nyelesain skripsinya. Dia pernah bilang dia harus selesai dalam hitungan 2 bulan. Benar-benar gila anak itu otaknya. Aku jadi malu ke diriku sendiri. Dibandingkan dia aku belum melakukan apa-apa dalam hidupku untuk diriku sendiri. Rian, teman kosku jadi heran dengan perubahanku yang begitu tiba-tiba. Aku jadi lebih sering mengerjakan proposal skirpsiku yang telah sekian lama terbengkelai. Jadi sering ke perpustakaan pusat (hm... siapa tahu Tania ke sana). Sudah beberapa kali aku coba ke kosnya di utara Yogya itu. Tapi mobil Josh yang sering nongkrong di depan kos itu membuatku kecul sendiri. Kamu memang pengecut Adi! Entahlah.

Sampai suatu hari aku pergi ke perpustakaan dan wanita yang duduk tekun di pojok membuat wajahku pias. Tania? Dia duduk sambil memelototi buku the Trial-nya Frans Kafka (Pasti buat referensi skripsinya.) Kacamata bacanya membuat wajahnya menjadi begitu menarik. Sosok kecerdasan yang luar biasa digabung dengan keperempuanan yang menyihirkan.

Kudekati dia dan kusapa.
"Hei!"
"Hey!" jawabnya datar.
"Sedang apa?
"Berenang!" jawabnya seenaknya. Seharusnya aku tahu, aku tak bisa mengganggunya kalau sudah ada buku di tangannya. Biar ada bom meledakpun dia tak akan bergeming. Aku hanya terdiam memandangnya sambil berharap dia akan memandangku, tapi harapanku itu sia-sia. Dia tak bergeming sedikitpun.

Sampai sebuah sosok laki-laki mendekat ke arah kami, Josh! "Hey.. sayang… masih lama?" sapanya hangat. Tania hanya mengangguk dengan senyum yang pasti begitu aneh. Tania segera bangkit. "Yuk Josh pulang... pulang dulu ya Di!" tanpa menunggu jawabanku dia mengeloyor pergi begitu saja.

Aku hanya terbengong dan kelu. Begitu kaku antara aku dan Tania setelah peristiwa lalu.

Kriiing! Weker ayamku membangunkan tidur siangku. Dengan kecepatan kilat yang luar biasa aku mandi dan segera bergegas mengambil ranselku, Sialan, kenapa sih pak Sutoyo dosen pembimbingku bikin janji jam 4 sore gini. Saat membereskan laporan-laporanku si Galih menggedor pintu kamarku. "Adi... aku berangkat dulu, pulangnya mungkin bulan depan," pamitnya. Ya ampun baru aku ingat sore ini dia mau ke Sulawesi mau melamar tunangannya. " Ya... hati-hati... salam buat Tasya!".

Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi. Kenapa lagi sih ? "Ngapain bang? Ada yang ketinggalan?" "Ngg... anu Adi ada tamu!" Kenapa sih anak itu, ada tamu kok mbingungi. Segera kubuka pintu kamarku. Seolah-olah ada sebongkah besar batu menyekat tenggorokanku dan aku hampir tak bisa dibuat bernapas karenanya. Tania!

Perempuan itu berdiri dengan kostum seperti biasanya, kaos dan jeans belel. Tapi di pundaknya ada ransel yang lumayan besar. Mau ke Merapikah? "hey... boleh nginap di sini?" tanyanya cuek dan tanpa menunggu jawabanku dia langsung masuk kamar.

Ah anak itu memang penuh dengan kejutan. Datang, pergi dan kembali tanpa memikirkan perasaanku padanya yang begitu tersiksa.

Seperti orang linglung aku bahkan tak sempat mengenalkan Galih yang terburu-buru pergi.

"Teman kos mudik semua.. Josh pergi ke Kalimantan. Ada riset di Kalcoal. Males di kos. Sepi!" seolah-olah tahu keherananku dia merebahkan tubuhnya ke kasur yang tergeletak begitu saja di lantai. Anak tunggal pasangan dokter bedah ternama di kota ini memang paling takut sendiri di kosnya yang super besar itu. "Sampai kapan?" tanyaku sekenanya. "Tahu! Mungkin sebulan. Kalo teman2 sih lima minggu. Kamu kalo mau pergi, pergi aja aku ngantuk!" dia lalu membalikkan tubuhnya . Kalau tidak ingat dosenku itu sangat susah ditemui, pasti kubatalkan kepergianku.

Sepanjang pertemuanku dengan pak Sutoyo, tidak sedetikpun konsentrasiku ke proposal yang aku bikin. Sialnya dosenku itu justru malah kuliah panjang lebar tentang teoriku yang salah. Saat sesi itu selesai, baru kusadar telah tiga jam aku meninggalkan Tania di rumah kontrakkanku. Bagaikan kesetanan aku memacu motor tuaku ke rumah kontrakkanku di daerah Mbesi sambil tak lupa menyempatkan di warung langggananku untuk 2 botol besar Coke dan seplastik es batu (minuman kesukaan Tania).

Hm.. mengapa rumahku gelap? Pasti si Tania ketiduran. Kubuka gerendel, aku terkejut beberapa lilin menerangi kamar tamuku. Mati listrikkah? Sayup-sayup kudengar kaset Michael Frank dari kamarku. Lalu dengan pelan takut menganggu tidur perempuan itu kubuka kamarku. Dan pemandangan di kamarku membuat kedua mataku hampir keluar dari tempatnya karena ketakjubanku.

Beberapa lilin yang mengapung di tembikar yang penuh dengan kemboja nampak menghiasi beberapa sudut ruangan. Spreiku telah diganti menjadi biru tua polos dan bertaburan melati dan bau dupa eksotis membuat kamarku demikian cozy. Beginikah honeymoon suite room? Tania dengan rok terusan selutut bertali dan sersiluet A tersenyum menyambutku. Kain rok itu begitu tipis dan ringan, warna putihnya mengingatkan aku pada turis-turis yang sering memakainya di Malioboro. Tampak kedua d*danya penuh dan kedua puncak hitamnya yang menonjol menyadarkanku bahwa dia tidak memakai bra hitam kesukaannya. Setangkai kamboja menyelip di telinganya. Ah... pantas bule-bule itu menyukai perempuan negeri ini. Ada satu karakter yang kuat memancar dengan dahsyatnya. Saat lagu "Lady wants to Know" mengalun, Tania memegang tanganku. "Shall we dance?".

Kuletakkan semua bawaanku begitu saja dan dengan ketakjuban yang masih menyelimuti perasaanku kusambut tangannya, kupeluk dia dengan kerinduan yang tak kunjung usai. Harum parfum Opiumnya Yves Saint Laurent semakin meempererat pelukanku. Sesekali kucium tangannya yang kugemnggam sangat erat. Kamipun terus berpelukan hingga satu lagu itu usai. Saat lagu kedua mulai, tiba-tiba perempuan itu menegakkan kepalanya yang tadinya rebah di dadaku.

"Sebelum kuserahkan tubuh ini kepada orang lain….
Berc*ntalah denganku?
Set*buhi aku dengan jiwamu...
Bawalah aku ke dalam darahmu
Biarlah aku terus menjadi hantu yang selalu menghuni satu sudut ruang hatimu..." bisiknya lembut.

Kata-kata itu bagaikan sihir yang membutakan seluruh sendi kesadaranku. Aku masih ingat Tania selalu menjaga kep*rawanan-nya selama kami berhubungan.


Tanpa terasa, tanganku turun dan dengan perlahan kusentuh dengan lembut kedua dadanya. Bibirnya yang penuh kukecup dengan penuh kasih lalu segera kulumat dan kuteruskan dengan penjelajahan ke lehernya dengan kecupan-kecupan hangat. Gigitan-gigitan kecil di dadanya terkadang membuatnya tersengat. Kain di dadanya segera basah oleh ciumanku dan kedua puncak hitamnya tegak berdiri di balik samar warna putih. Dengan kepasrahan yang penuh, perempuan itu kugendong ke ranjangku. Kubuka dengan perlahan bajuku dan dalam hitunga detik kami telah ada dalam kepolosan yang purba."Please... explore me!" rintihnya saat kujilati bibir k*wanitaannya.

Entah mengapa aku begitu kreatif saat itu. Segera kuambil ikat pinggangku dan kuikat kedua tangannya kebelekang lalu dia kududukkan sambil kututup mataku dengan syal batik ibuku yang selalu kubawa. Oh Tuhan (masih pantaskah aku menyebutNya?) betapa mengga*rahkan pemandangan di dekapanku. Kuambil bongkahan es batu dalam plastik dan kubanting ke lantai. Gubraaaak!

"Suara apa itu?" pekiknya kaget. Pertanyaan itu tidak kujawab dengan jawaban tetapi dengan ciuman liar dan hangat di bibirnya. Tanganku memegang sebongkah es batu dan kutelusuri seluruh tubuhnya dengan es itu dengan gerakan bagai lidah di tempat-tempat sensitifnya."Arrgh.. ah... ugh.. ugh!" dia menggelinjang dengan hebatnya karena sensasi itu. Saat kupermainkan bongkahan es di puncak hitamnya yang sangat kaku mengeras dia mengaduh "Uuuh... hisap... please!" rintihnya. Lalu kuhisap ke dua puncak itu sambil kugigit-gigit kecil. Gelinjangnya semakin liar. Lalu es itu kujelajahkan di atas kewanitaannya.

Tanpa dapat dibendung lagi dia mengerang hebat dengan erangan yang tak pernah kudengar (ah mungkin waktu itu tempatnya tidak sebebas di kontrakkanku). "Arrgh.. uh.. oh... yessss... oh... ah.. great... baby..." saat es yg semakin kecil itu kumasukkan ke dalam kew*nitaannya dan kumainkan bagai lidahku dia mengerang dan memohon untuk kuset*buhi dengan kelelelakianku. "Please Adi... set*buhi aku.. ayo.... ah...." tapi aku tidak melakukannya, justru aku segera melumat kew*nitaannya dengan lidahku. Karena kedua tangannya masih terikat dia tidak bisa memegang kepalaku untuk dibenamkannya ke kewanitaannya dan dia menggunakan kedua kakinya untuk menjepit tubuhku. Erangannya makin hebat saat kuhisap cairan di kewanitaannya, kujulurkan lidahku makin dalam... dan dalam...

"Aaaaaaaaargh!... argh....oh yesssssssssssssssss!" Kuhisap, kulumat dengan keliaran yang tak terkendali. Persetan dengan yang mendengar saat kudengar bunyi pintu terbuka. Itu pasti Rian. Benar, mungkin karena sungkan, dia segera masuk ke kamarnya. Erangan perempuan itu, semakin keras saat kutanamkan dalam-dalam kelelakianku ke lubang kew*nitaannya. "Oh yesssssssss!... arghhhhhh!" dia tak bisa bebas meronta, hanya panggulnya yang diangkatnya tinggi-tinggi untuk dibenamkan semakin dalam.

Saat kubuka matanya dan talinya dia segera mendorongku hingga aku terjembab dan dicabutnya kewanitannya. Dia lalu jongkok di atas wajahku dengan posisi terbalik. Lalu dengan liar dihisapnya kelelakianku. Dikulumnya dalam-dalam, di saat yang bersamaan akupun bisa memainkan lidahku di kewanitannya. "Ahh.. uh... ah..." begitu nikmat luar biasa, Kulumannya semakin liar di kelelakianku sambil sesekali digigit kecil pangkalnya. Kedua bukit indahnya yang menggantung segera kuremas dan kupilin keras. "Auw...." Jerit kecilnya saat aku memilin put*ngnya terlalu keras.

Tania semakin hebat mengulum kelelakianku sambil menggoyangkan kewanitaannya agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Lalu dengan waktu yang bersamaan kami mencapai sensasi erangan yang memekakkan. "Aaargh... oh YESSSSSSSSS!" lava yang begitu deras keluar dari kelelakianku, segera direguknya cairan itu. Oh indah luar biasa... Tuhan.. aku begitu mencintainya. Dan malam itu kami terus berc*nta hingga pagi menjelang.

Sudah hampir 2 minggu ini Tania tinggal bersamaku. Selama itu pula erangan-erangan dan lenguhan-lenguhan kami telah menjadi sesuatu yang biasa di kontrakkanku. Setiap hari kami berc*nta, terkadang pagi, siang dan setiap malam.

Hampir seluruh sudut rumah ini telah sempat menjadi 'ranjang' kami (tentunya saat Rian pergi). Rian sudah terbiasa mendengar teriakan-teriakan kepuasan dari kamarku, bahkan kami terkadang berciuman dengan seenaknya di depannya. Rianpun hanya menggerutu, "Huh... jadi kambing congek nih..." Lalu kamipun hanya tertawa melihat ekspresi sahabatku itu. Lalu dengan sekali pandang kami segera masuk kamar.

Biasanya Tania masih sempat menggoda Rian dengan kenakalannya.
"Hey... jangan pengin lho?"
"Huh cah edan!" sahabatku itu begitu pengertian sambil tetap bersungut dia masuk kamar sambil meneruskan gerutuannya:
"Tereaknya jangan kenceng-kenceng!" lalu erangan-erangan hasratpun kembali menguak di antara keringat-keringat kami. Hari-haripun berlalu demikian indahnya.

Hingga suatu siang, saat aku pulang dari kampus aku begitu terkejut saat melihatnya berkemas.
"mau ke mana Tan...?"
"Pulang," Jawabnya pendek.
"teman2 udah balik?" dia hanya menggeleng.
"Besok Josh pulang!"


Pyaaaar! Tiba-tiba kepalaku pening. Ada kemarahan yang tiba-tiba meyerang. Tidak, aku tidak marah kepadanya, aku hanya marah dengan situasi ini.
"Tinggallah bersamaku," pintaku. Kurasakan ada nada putus asa di dalamnya. Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Tidak. Josh akan marah kalau ke rumah aku nggak ada".

Josh, lagi-lagi Josh! Kenapa nama itu tidak hilang dari hatinya. Tidak puaskah dia dengan cintaku? Keputusasaanku akhirnya terakumulasi dengan kemarahanku. Kutarik tubuhnya ke pelukanku, kudekap tubuhnya kuat-kuat. Diapun mengejang dengan pandangan bingung. Tiba-tiba kudengar suaraku meninggi.

"Tidak! Kau harus tinggal!" melihat perempuan itu tetap menggeleng aku semakin tak terkendali. Yang ada di kepalaku cuma satu, dia harus jadi milikku, selamanya! Dan keluarlah kalimatku yang kusesali hingga saat ini: "Jadi, kuanggap aku g*golomu. Harusnya kamu bayar aku mahal, Tan!"

Plaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat kemarahan luar biasa di matanya. Badannya bergetar dengan hebat. Aku semakin kalap segera kugumul dan kutindih dia dengan tubuhku. Dia meronta dan akupun semakin marah. Segera kubuka celanaku dan kupelorotkan celana pendeknya sekaligus celana dalamnya. Lalu dengan kasar kuset*buhi perempuan kecintaanku itu dengan ganas. Tania berteriak kesakitan karena secara alami tubuhnya menolak. Tapi aku tidak peduli dan dengan sengaja kumasukkan dalam-dalam lava kelelakianku (selama ini aku tidak pernah memasukkan ke dalam kecuali dengan karet pengaman). Aku ingin dia hamil. Hanya itu satu-satunya cara untuk memilikinya.

"Oh..jangan..." Teriakannya semakin membulatkan niatku. Setelah semuanya selesai, baru kusadari ada buliran air mengalir dengan deras dari kedua mata indahnya. Ya... Tuhan Apa yang telah kuperbuat terhadap perempuan yang sangat kucintai dalam hidupku ini? Tanpa berkata sepatah pun dia segera memberesi tubuhnya dan sambil membawa bawaannya dia pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Siang itu di tengah guyuran hujan yang turun dengan tiba-tiba, menjadi saat terakhir aku melihatnya. Aku begitu sakit ....

Aku berusaha puluhan kali menemuinya ke kos-nya, tapi hanya pembantu kosnya yang keluar dan bilang nonanya pergi atau seribu alasan lainnya. Tania... aku hanya minta maaf.

Di hari wisudanya pun ternyata dia tidak datang. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalahku. Hingga suatu siang ada suara mengetuk. Tania kah? Begitu kubuka ternyata Josh. Belum sempat aku bertanya sebuah pukulan mendarat di mukaku. Josh hanya berkata lirih sambil melemparkan sepucuk surat, "Goblok! Kamu hampir memilikinya, tapi kamu sendiri yang merusaknya". Sambil menahan perih kubaca surat itu. Surat Tania!

"Josh-ku sayang...
Maafkan aku. Saat kau baca surat ini aku sudah di Paris, kebetulan om Jon nawarin aku tinggal di sana. Jadi sekalian aku ambil sekolah film sekalian. Maafkan aku tak sempat bilang padamu tentang keputusanku ini. Josh, tadinya kamu adalah satu-satunya lelaki yang ingin kuberikan seluruh hidupku. Aku menjadi sangat terluka saat kamu tidak menginginkan anak dariku. Meski kamu akhirnya mau menikah denganku....

Tetapi ternyata semuanya menjadi lain saat aku bertemu Adi (Ah alangkah senangnya jika ada satu sosok gabungan antar dirimu dan Adi). Aku juga menginginkan hidup bersamanya. Dan itu tidak adil bukan? Aku merasa mengkhianatimu saat bersamanya dan mengkhianatinya saat bersamamu. Saat kamu pergi ke Kalimantan aku pikir itu saat yang tepat untuk menguji perasaanku kepadamu dan kepadanya. Hidup bersamanya begitu rileks aku sungguh menikmatinya. Hampir saja kuputuskan untuk hidup bersamanya.

Tapi ternyata rasa cintanya begitu 'menyesak'kan ruangku. Akupun tidak bisa hidup dengan cara itu. Josh, aku harap kamu mengerti dengan pilihanku ini. Aku mencintaimu selamanya aku mencintaimu. Jika kamu sempat bertemu Adi, tolong katakan bahwa aku hanya menyesal dia tidak bisa merasakan perasaanku kepadanya... just take care of yourself. Tania."

Aku hanya termangu.

Catatan: Dua tahun kemudian, Rian pernah melihatnya di bandara Changi. Tania bersama seorang anak perempuan usianya sekitar hampir 2 tahunan. Mereka sendirian sambil menunggu pesawat ke Paris. Aku begitu gemetar mendengarnya. Aku tidak berani memikirkan segala kemungkinan...


Tamat - END



0 comments:

Post a Comment